SALATIGA, KOMPAS - Pendidikan multikultural bagi anak- anak usia dini sangat penting untuk didorong sebagai fondasi bagi pengembangan masyarakat Indonesia yang lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Pendidikan ini tidak sekadar terpaku pada dimensi kognitif atau pengetahuan, tetapi juga afektif dan psikomotorik.
Hal itu mengemuka dalam ”Seminar dan Lokakarya Sehari Pendidikan Multikultur” yang diselenggarakan Forum Lintas Iman Anak ”Kita Beda Kita Sama” di Lembaga Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik) Salatiga, Jawa Tengah, Sabtu (31/10). Seminar dihadiri guru SD, MI, sekolah minggu, TPQ dan TPA, serta orangtua siswa. Hadir sebagai pembicara Dr Pradjarta Dirdjasanjoto (Direktur Percik), Ahmad Bahruddin (Kepala SMP dan SMA Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga), Sr M Paulina (Kepala SD Marsudirini 77 Salatiga), serta Wahyuni Kristinawati (dosen psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga).
Menurut Pradjarta, pentingnya pendidikan multikultur tidak terlepas dari refleksi terhadap kondisi masyarakat plural Indonesia yang kian terkotak-kotak sehingga memendam potensi konflik cukup besar. Namun, saat ini potensi konflik harus diantisipasi dengan pendidikan multikultural, pengembangan modal sosial, serta rekonstruksi kehidupan bersama yang bersifat lebih rekonsiliatif.
Bahruddin melihat pendidikan ini harus diinternalkan tidak hanya lewat mata pelajaran, tetapi juga dalam keseluruhan pendidikan dan dimulai sejak dini. Tidak hanya SD, tetapi juga jika dimungkinkan hingga pendidikan anak usia dini. Ajari nilai universal, seperti cinta kasih dan terima kekritisan mereka.
Wahyuni mengemukakan, kekuatan yang paling menonjol dalam pendidikan multikultural pada anak adalah kemampuan mereka menerima keberbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Adapun Sr Paulina menekankan pentingnya pendidikan religiositas untuk memperjuangkan dan mewujudkan nilai universal di antara anak didik tanpa membedakan agama dan kepercayaannya. (GAL)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar