Jumat, 26 Februari 2010

Banjir Bandang Meningkat karena Gempa Bumi

Banjir Bandang Meningkat karena Gempa Bumi
Laporan wartawan KOMPAS Irene Sarwindaningrum
Senin, 7 Desember 2009 | 21:29 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Banjir bandang diperkirakan akan makin sering terjadi dalam 5-10 tahun mendatang. Potensi banjir bandang ini meningkat seiring dengan meningkatnya potensi terjadinya gempa bumi di Indonesia.

Peneliti Banjir dan Daerah Aliran Sungai dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Maryono di Yogyakarta, Senin (7/12), mengatakan, penelitian menunjukkan bahwa gempa bumi hampir selalu diikuti oleh banjir bandang. "Di Yogyakarta, banjir bandang di Sungai Code terjadi setelah gempa, begitu pula di Aceh. Banjir bandang setelah gempa bumi bisa dirunut hingga kejadian tahun 1918," ujarnya.

Hal ini terjadi karena gempa bumi membuat tebing sungai menjadi rentan longsor. Ciri khas banjir bandang karena gempa bumi adalah banjir berupa lumpur dan mengandung banyak serpihan kayu.

Lebih lanjut, Agus yang baru saja mendapat penghargaan dari Departemen Pekerjaan Umum sebagai penulis artikel terbaik bidang PU tahun 2009 itu mengatakan, paradigma pencegahan banjir dengan pembangunan talut alias penahan banjir di bagian hilir harus diubah menjadi pencegahan banjir dengan pengelolaan dan penyerapan air di bagian hulu sungai.

Pembangunan talut seharusnya dihentikan karena hanya membuat air dialirkan dan dibuang percuma. Padahal, kebutuhan air saat ini semakin meningkat. Pembangunan talut juga berpotensi mengakibatkan banjir dengan intensitas lebih besar karena pembangunan talut membuat perumahan semakin turun ke bantaran. Akibatnya, potensi sungai meluap semakin besar.

"Pembangunan talut akan juga mematikan ekosistem pinggir sungai yang kaya dengan berbagai organisme unik," katanya.

Menurutnya, pencegahan banjir seharusnya difokuskan pada daerah pedesaan di bagian hulu sungai. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbanyak daerah tangkapan air, yaitu dengan konservasi lahan pertanian dan perkebunan, membangun lumbung desa, tanggul pekarangan, dan sumur resapan di daerah pedesaan yang terdapat di hulu sungai. Langkah ini juga perlu dilakukan masyarakat di daerah perkotaan untuk mencegah krisis air bersih.

Frekuensi Gempa Kian Meningkat

Frekuensi Gempa Kian Meningkat
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono
Selasa, 12 Januari 2010 | 18:47 WIB
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Warga melintas di antara puing bangunan rumahnya di Desa Sungai Sirah, Dusun Duo, Kecamatan Sungai Limau, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Minggu (4/10). Gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter yang mengguncang Sumbar mengakibatkan sedikitnya 500 orang meninggal dan ribuan bangunan hancur.

BANDUNG, KOMPAS.com — Frekuensi gempa di Tanah Air telah meningkat tajam dalam lima tahun terakhir. Kondisi ini menjadi sinyalemen terhadap ancaman gempa besar pada kemudian hari. Belakangan ini, gempa memang kian sering terjadi.

"Ini dirasakan terutama setelah gempa tsunami di Aceh. Setelah 2004, gempa-gempa besar seolah tidak berhenti," ungkap Prof Sri Widiyantoro, pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung.

Sri mengungkapkan, sejak 1964 hingga 2005, tercatat sebanyak 30.393 gempa yang terjadi di seluruh Indonesia. Dahulu setidaknya tercatat 1.000 kali gempa, baik ukuran kecil, sedang, maupun besar di Tanah Air. Namun, sejak 2005, frekuensinya meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat.

"Pada 2005 saja, tercatat terjadi 2.527 gempa. Hampir tiap hari terjadi setidaknya dua hingga tiga kali gempa di berbagai wilayah di Indonesia," ucap pakar tomografi gempa ini.

Gempa NAD yang terjadi pada 2004 diyakini secara tidak langsung ikut memicu pergerakan di sepanjang zona subduksi lempeng tektonik Indoaustralia dan Eurasia di pesisir barat Sumatera. Gempa itu juga memicu pergerakan di segmen patahan-patahan aktif di sepanjang Sumatera.

"Meskipun di satu sisi frekuensi gempa yang tinggi juga berarti positif, yaitu terlepasnya energi perlahan. Namun, Sri meminta masyarakat mewaspadai potensi gempa besar di wilayah Mentawai. Segmen Mentawai kan belum pecah. Selama ini terlewati," tuturnya.

Diperkuat data yang ditunjukkan Prof Jim Mori, ahli gempa dari Universitas Kyoto, Jepang, gempa NAD 2004 yang tercatat sebagai gempa terbesar dalam setengah abad terakhir telah mengakibatkan pergerakan yang tinggi di zona subduksi Aceh dan Mentawai, bahkan menjalar hingga ke utara NAD.

Ternyata "Alien" Sudah di Bumi Membaur dengan Manusia

Ternyata "Alien" Sudah di Bumi Membaur dengan Manusia
Minggu, 29 November 2009 | 08:02 WIB
SHUTTERSTOCK
Pesawat Alien

LONDON, KOMPAS.com — Ilmuwan Bulgaria menyatakan, alien atau makhluk luar angkasa sudah ada di bumi di antara kita. Mereka bahkan mengklaim sudah membuat kontak dengan makhluk cerdas di luar bumi itu.

“Alien sudah ada di antara kita, dan mengawasi kita sepanjang waktu,” kata ilmuwan Bulgaria, Lachezar Filipov, kepada media Bulgaria.

Mereka mengaku bekerja untuk memecahkan serangkaian simbol kompleks yang dikirimkan ke mereka. Kini mereka sedang mengerjakannya. Hal itu dikatakan oleh ilmuwan dari Space Research Institute milik Pemerintah Bulgaria.

Mereka mengklaim telah menjawab 30 pertanyaan yang telah dikirim alien. Lachezar Filipov, Wakil Direktur Space Research Institute dari Bulgarian Academy of Sciences, mengonfirmasi hasil riset itu.

Ia mengatakan, pusat riset telah menganalisis 150 lingkaran pada ladang (crop circles) dari seluruh dunia. Mereka yakin hal itu akan menjawab pertanyaan.

“Mereka tidak bermusuhan dengan kita. Mereka ingin membantu kita, tetapi kita belum berhasil menjalin kontak lansung dengan mereka.”

Mr Filipov bahkan mengatakan, Vatikan setuju bahwa alien itu ada.

Manusia tidak bisa menjalin kontak dengan alien melalui gelombang radio, tetapi melalui kekuatan pikiran.

“Ras manusia akan memiliki kontak langsung dengan alien 10-15 tahun mendatang,” katanya.

“Mereka kritis pada sikap amoral manusia yang mengganggu proses alami,” katanya.

Publikasi soal alien ini dilaksanakan di tengah debat mengenai kontroversi peran, kelayakan, dan reformasi Bulgarian Academy of Sciences.

Minggu lalu, persoalan ini memicu debat antara Menteri Keuangan Bulgaria Simeon Djankov dan Presiden Georgi Parvanov.

"Matahari Tenang" Menyebabkan Cuaca Ekstrem

"Matahari Tenang" Menyebabkan Cuaca Ekstrem
Kamis, 24 Desember 2009 | 04:46 WIB
Merebut harapan dari matahari di pagi hari

JAKARTA, KOMPAS.com - Cuaca ekstrem di lintang utara, antara lain, Eropa dan Amerika bagian utara yang terjadi beberapa hari terakhir ini terkait dengan kondisi ”Matahari tenang” yang berkepanjangan. Selain itu, disebabkan oleh perubahan iklim global.

Hal ini dijelaskan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Rabu (23/12/2009) di Jakarta.

Thomas mencatat beberapa musim dingin yang minim salju terkait dengan kondisi Matahari aktif dan sebaliknya musim dingin bersuhu ekstrem di Bumi terkait dengan Matahari tenang, yaitu sedikit hingga tanpa adanya bintik Matahari.

Menurut pemantauan Clara Yono Yatini, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan, penurunan kejadian bintik Matahari mulai terlihat sejak 2000.

Bintik hitam yang tampak di permukaan Matahari melalui teropong dilihat dari sisi samping menyerupai tonggak-tonggak yang muncul dari permukaan Matahari. Tonggak itu terbentuk dari aktivitas massa magnet yang terpelintir atau berpusar di perut Matahari hingga menembus permukaan.

Bintik hitam Matahari itu berdiameter sekitar 32.000 kilometer atau 2,5 kali diameter rata-rata Bumi. Akibat munculnya bintik Matahari, suhu gas di fotosfer dan kromosfer di atasnya dapat naik sekitar 800 derajat celsius dari normal. Hal itu mengakibatkan gas ini memancarkan sinar lebih besar dibandingkan gas di sekelilingnya.

Di atas bintik Matahari, yaitu di daerah kromosfer dan korona juga dapat terjadi badai Matahari dan ledakan cahaya yang disebut flare.

Cuaca Bumi

Lonjakan massa gas bersuhu tinggi ini tidak hanya memengaruhi magnet Bumi, tetapi juga cuaca di atmosfer Bumi, lanjut Thomas, pakar astronomi dan astrofisik. Kondisi Matahari juga berefek pada intensitas curah hujan di Indonesia.

Data Lapan menunjukkan ada kecenderungan curah hujan berkurang saat Matahari tenang. Secara global, efek aktivitas Matahari mengemisikan gas rumah kaca, terutama CO. Akibatnya, iklim ekstrem dapat lebih sering terjadi dengan intensitas yang cenderung menguat.

Matahari Tidur, Bumi Membeku

Cuaca
Matahari Tidur, Bumi Membeku
Sabtu, 30 Januari 2010 | 08:13 WIB
AP photo/Winfried Rothermel
Kincir angin bersejarah meneteskan air yang langsung membeku di Furtwangen, Black Forest, barat daya Jerman, Senin (12/1). Walaupun cuaca sudah lebih hangat daripada beberapa hari sebelumnya, udara pada malam hari tetap amat dingin.
TERKAIT:

* "Matahari Tenang" Menyebabkan Cuaca Ekstrem

JAKARTA, KOMPAS.com — Cuaca dingin ekstrem melanda kawasan lintang tinggi Bumi. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh Matahari yang tidur berkepanjangan. Dampaknya menjadi terasa berat karena semakin diperparah oleh adanya pemanasan Bumi dan perubahan iklim global.

Sejak Desember lalu, suhu ekstrem terus melanda kawasan Lintang Utara, yaitu mulai dari Benua Amerika, Eropa, hingga Asia. Di Eropa, suhu dingin bulan lalu pernah mencapai minus 16 derajat celsius di Rusia dan minus 22 derajat celsius di Jerman. Bagi Inggris, ini suhu ekstrem terdingin dalam 30 tahun terakhir. Jalur transportasi ke Perancis lumpuh.

Amerika Serikat pun mengalami hal yang sama. Serbuan cuaca ekstrem ini berdampak pada kegagalan panen di Florida dan menyebabkan dua orang meninggal di New York.

Kejadian luar biasa yang berskala global ini diyakini para pengamat meteorologi dan astronomi berkaitan dengan kondisi melemahnya aktivitas Matahari yang ditandai oleh menurunnya kejadian bintik matahari atau sunspot.

Bintik hitam yang tampak di permukaan Matahari melalui teropong bila dilihat dari sisi samping menyerupai tonggak yang muncul dari permukaan Matahari. Tonggak itu terjadi akibat berpusarnya massa magnet di perut Matahari hingga menembus permukaan.

Akibat munculnya bintik hitam berdiameter sekitar 32.000 kilometer atau 2,5 kali diameter rata-rata Bumi, suhu gas di fotosfer dan kromosfer naik sekitar 800 derajat celsius dari normalnya. Hal ini dapat mengakibatkan badai matahari dan ledakan cahaya yang disebut flare.

Namun, yang terjadi beberapa tahun terakhir ini adalah Matahari nonaktif. Menurunnya aktivitas Matahari itu berdasarkan pantauan Clara Yono Yatini, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), mulai terlihat sejak tahun 2000.

Para pakar astrofisika matahari di dunia menyebut tahun 2008 sebagai tahun dengan hari tanpa bintik matahari yang tergolong terendah dalam 50 tahun terakhir. Mereka memperkirakan beberapa tahun sesudah 2008 akan menjadi tahun-tahun yang dingin, kata Mezak Ratag, pakar astrofisika yang tengah merintis pendirian Earth and Space Science Institute di Manado, Sulawesi Utara.

Pengukuran kuat medan magnet bintik matahari dalam 20 tahun terakhir di Observatorium Kitt Peak Arizona menunjukkan penurunan. Dari medan magnet maksimum rata-rata 3.000 gauss pada awal 1990-an turun menjadi sekitar 2.000 gauss saat ini.

Penurunan sangat signifikan ini merupakan bukti bahwa hingga beberapa waktu ke depan Matahari masih akan pada keadaan malas, kata Mezak. Ia memperkirakan kalau aktivitas maksimumnya terjadi pada sekitar tahun 2013, tingkatnya tidak akan setinggi maksimum dalam beberapa siklus terakhir.

Matahari dan iklim

Saat matahari redup berkepanjangan, musim dingin ekstrem berpotensi terjadi karena Matahari—sumber energi bagi lingkungan tata surya—adalah penggerak mesin iklim di Bumi.

Sejak 1865, data di Lapan menunjukkan kecenderungan curah hujan berkurang saat Matahari tenang. Demikian pula musim dingin parah sejak akhir 2009 terjadi saat Matahari amat tenang (deep minimum) mirip kejadian 1995-1996, urai Thomas Djamaluddin, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan.

Bukti keterkaitan dengan perilaku Matahari ini ditunjukkan oleh fenomena kebalikannya, yaitu musim dingin minim salju saat Matahari aktif pada tahun 1989. Musim dingin sangat panjang terjadi saat Minimum Maunder tahun 1645-1716 dan minimum Dalton awal 1980-an.

Kondisi serupa terjadi pada 1910-1914. Itu banyak dikaitkan dengan dinginnya laut pada musibah tenggelamnya Titanic pada April 1912. Normalnya, waktu itu sudah musim semi.

Sementara itu, Mezak berpendapat, pola aktivitas Matahari minimum saat ini mirip dengan kejadian tahun 1880, 1890, 1900, dan 1910. Jadi, siklus Matahari tidak hanya menunjukkan siklus sebelas tahun. Ada siklus lebih panjang dengan periode sekitar 100 tahun—siklus Gleisberg. Dalam catatan meteorologis, saat terjadi siklus itu, banyak cuaca ekstrem dingin, tetapi tidak seekstrem Minimum Maunder.

Cuaca dan GRK

Efek aktivitas Matahari minimum lebih banyak memengaruhi daerah lintang tinggi. Aktivitas Matahari sejak sekitar tahun 2007 hingga kini memperbesar peluang terjadinya gradien suhu yang besar antara lintang tinggi dan lintang rendah. Akibatnya, kecepatan komponen angin arah utara-selatan (meridional) tinggi.

Prof CP Chang, yang mengetuai Panel Eksekutif Monsun Badan Meteorologi Dunia (WMO), berkesimpulan, aktivitas monsun lintas ekuator yang dipicu gradien suhu yang besar di arah utara-selatan akhir-akhir ini meningkat secara signifikan dibandingkan dengan statistik 50 tahun terakhir.

Hal ini memperkuat dugaan, aktivitas Matahari minimum yang panjang berkaitan erat dengan cuaca ekstrem dingin. Di Indonesia, kejadian angin berkecepatan tinggi lintas ekuator menjadi penyebab utama munculnya gelombang-gelombang tinggi dari Laut China Selatan ke perairan Laut Jawa.

Adanya gas rumah kaca di atmosfer, lanjut Thomas, juga meningkatkan suhu udara yang menyebabkan perubahan iklim. Efek gabungannya cenderung meningkatkan kerawanan bencana terkait iklim, kata Thomas.

Teori pemanasan global mengatakan, atmosfer yang memanas membuat partikel-partikel udara menjadi semakin energetik dan berpotensi menghasilkan cuaca ekstrem.

BMKG: Tinggi Gelombang Laut Tiga Meter

BMKG: Tinggi Gelombang Laut Tiga Meter
Minggu, 20 Desember 2009 | 15:07 WIB
ilustrasi

PANGKALPINANG, KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pangkalpinang memprakirakan tinggi gelombang perairan laut Babel berkisar 2,5 hingga tiga meter, selama 24 jam mulai Minggu hingga Senin, pukul 07.00 WIB.

Kepala BMKG Pangkalpinang, Supari Minggu (20/12) mengatakan, tinggi gelombang di jalur Pangkalbalam (Bangka) hingga Tanjung Priok (Jakarta) rata-rata 2,5 hingga tiga meter, kecepatan angin dari barat hingga utara mencapai 10 hingga 50 km per jam.

Tinggi gelombang di jalur Pangkalbalam (Bangka) hingga Tanjungpandan (Belitung) rata-rata 2,5 hingga tiga meter, arah dan kecepatan angin dari barat hingga utara 10 hingga 45 km per jam.

Tinggi gelombang di perairan Selat Karimata rata-rata 2,5 hingga tiga meter, kecepatan angin dari barat laut hingga timur laut mencapai 10 hingga 50 km per jam.

Tinggi gelombang di perairan jalur Mentok (Bangka Barat) hingga Palembang (Sumsel) rata-rata dua hingga 2,5 meter, arah dan kecepatan angin dari barat hingga utarat berkisar enam hingga 38 km per jam.

Cuaca di daratan Pulau Bangka berawan hingga berawan banyak, berpotensi hujan ringan hingga sedang, arah kecepatan angin dari barat hingga utara mencapai enam sampai 25 km per jam.

Suhu udara 23 sampai 31 derajat Celsius dan kelembaban udara mencapai 62 sampai 90 persen.

Cuaca di daratan Pulau Belitung berawan hingga berawan banyak, berpotensi hujan ringan hingga sedang, arah angin dari barat hingga utara dengan kecepatan empat sampai 25 km jam.

Suhu udara 24 sampai 31 derajat Celsius dan kelembaban udara mencapai 70 sampai 98 persen.

Gelombang Tinggi akibat Siklon Edzani

Gelombang Tinggi akibat Siklon Edzani
Jumat, 8 Januari 2010 | 06:51 WIB
BMKG
Prakiraan gelombang laut maksimum di wilayah perairan Indonesia
TERKAIT:
* Gelombang Tinggi, Tangkapan Nelayan Berkurang
* BMKG: Tinggi Gelombang Laut Tiga Meter

JAKARTA, KOMPAS.com - Depresi tropis di Samudra Hindia yang awalnya terbentuk di sebelah barat Sumatera dan terus bergerak ke arah barat hingga selatan Sri Lanka, Kamis (7/1/2010) pagi sekitar pukul 07.00, telah berubah menjadi siklon tropis Edzani. Dampak bagi perairan di sebelah barat Sumatera menimbulkan ketinggian gelombang sampai empat meter yang berbahaya bagi pelayaran hingga kapal berbobot menengah.

”Siklon tropis itu tidak berdampak langsung pada meningkatnya intensitas hujan. Tetapi, hujan deras yang berpeluang di sebagian wilayah di Indonesia akibat pertemuan dan pembelokan arah angin yang membentuk awan,” kata Kepala Subbidang Siklon Tropis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Fachri Radjab, Kamis di Jakarta.

Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Edvin Aldrian mengatakan, konvergensi atau pembentukan awan saat ini mulai intensif. Awan-awan hujan mulai merata di sebagian besar wilayah Indonesia.

”Awan hujan merata makin memperkecil peluang terjadinya puting beliung,” kata Edvin.

Menurut Edvin, puting beliung yang terjadi baru-baru ini akibat perbedaan suhu yang drastis dan merupakan variabilitas yang ekstrem.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BMKG Edison Gurning menyampaikan peringatan dini akan adanya cuaca buruk dengan intensitas hujan lebat disertai petir dan angin kencang di Sumatera dan Kalimantan. (NAW)

Dorong Pendidikan Multikultural sejak Dini

SALATIGA, KOMPAS - Pendidikan multikultural bagi anak- anak usia dini sangat penting untuk didorong sebagai fondasi bagi pengembangan masyarakat Indonesia yang lebih terbuka, toleran, dan demokratis. Pendidikan ini tidak sekadar terpaku pada dimensi kognitif atau pengetahuan, tetapi juga afektif dan psikomotorik.

Hal itu mengemuka dalam ”Seminar dan Lokakarya Sehari Pendidikan Multikultur” yang diselenggarakan Forum Lintas Iman Anak ”Kita Beda Kita Sama” di Lembaga Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik) Salatiga, Jawa Tengah, Sabtu (31/10). Seminar dihadiri guru SD, MI, sekolah minggu, TPQ dan TPA, serta orangtua siswa. Hadir sebagai pembicara Dr Pradjarta Dirdjasanjoto (Direktur Percik), Ahmad Bahruddin (Kepala SMP dan SMA Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga), Sr M Paulina (Kepala SD Marsudirini 77 Salatiga), serta Wahyuni Kristinawati (dosen psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga).

Menurut Pradjarta, pentingnya pendidikan multikultur tidak terlepas dari refleksi terhadap kondisi masyarakat plural Indonesia yang kian terkotak-kotak sehingga memendam potensi konflik cukup besar. Namun, saat ini potensi konflik harus diantisipasi dengan pendidikan multikultural, pengembangan modal sosial, serta rekonstruksi kehidupan bersama yang bersifat lebih rekonsiliatif.

Bahruddin melihat pendidikan ini harus diinternalkan tidak hanya lewat mata pelajaran, tetapi juga dalam keseluruhan pendidikan dan dimulai sejak dini. Tidak hanya SD, tetapi juga jika dimungkinkan hingga pendidikan anak usia dini. Ajari nilai universal, seperti cinta kasih dan terima kekritisan mereka.

Wahyuni mengemukakan, kekuatan yang paling menonjol dalam pendidikan multikultural pada anak adalah kemampuan mereka menerima keberbedaan sebagai sesuatu yang wajar. Adapun Sr Paulina menekankan pentingnya pendidikan religiositas untuk memperjuangkan dan mewujudkan nilai universal di antara anak didik tanpa membedakan agama dan kepercayaannya. (GAL)

Teori Belajar Aliran Behavioristik

Pandangan tentang belajar menurut menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Para ahli yang banyak berkarya dalam aliran ini antara lain : Thorndike (1911), Watson (1963), Hull (1943), dan Skinner (1968).

1. Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya mengukur berbagai tingkah laku yang nonkonkret (pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah banyak memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike disebut sebagai "aliran koneksionis" (connectionism).
Prosedur eksperimennya ialah membuat agar setiap binatang lepas dari kurungannya sampai ke tempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung, maka binatang ini sering melakukan bermacam-macam kelakukan, seperti menggigit, menggosokkan badannya ke sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak terbuka dan binatang itu akan lepas ke tempat makanan.

2. Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson, pelopor yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang "bisa diamati" (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting, Akan tetapi faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikian pulalah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris.
Berdasarkan uraian ini, penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting.
Tiga pakar lain adalah Clark Hull, Edwin Guthrie, dan B.F. Skinner. Seperti kedua pakar terdahulu, ketiga orang yang terkahir ini juga menggunakan variabel stimulus-respons untuk menjelaskan teori-teori mereka. Namun, meskipun ketiga pakar ini mendapat julukan yang sama, yaitu pendiri aliran tingkah laku (neo behaviorist), mereka berbeda satu sama lain dalam beberapa hal seperti diuraikan berikut.

3. Clark Hull
Clark hull (1943) mengemukakan konsep pokok teorinya yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusinya Charles Darwin. Bagi Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Menurut Hull (1943, 1952), kebutuhan dikosepkan sebagai dorongan (drive), seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus hampir selalu dikaitkan denagan kebutuhan biologis ini, meskipun respons mungkin bermacam-macam bentuknya.
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium.

4. Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu. Selanjutnya Edwin Guthrie berpendirian bahwa hubungan antara stimulus dengan respons merupakan faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respons akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) apabila respons tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini dapat terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain seperti minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain.
Guthrie juga mengemukakan bahwa "hukuman" memegang peran penting dalam proses belajar. Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang dari sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topik dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan msuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide tentang "penguatan" (reinforcement).

5. Skinner
Skinner (1968) yang datang kemudian merupakan penganut paham neobehavioris yang mengalihkan dari laboratorium ke praktik kelas. Skinner mempunyai pendapat lain lagi, yang ternyata mampu mengalahkan pamor teori Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin karena kemampuan Skinner dalam "menyederhanakan" kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep-konsep yang ada dalam teorinya tersebut. Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan respons untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan pemahaman terhadap respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut. Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab "alat" itu akhirnya menuntut perlu dijelaska "apa itu frustasi". Penjelasan tentang frustasi ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain. Begitu seterusnya.

Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinner-lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching Machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan faktor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori Skinner.