Minggu, 03 Januari 2010

STANDAR BIAYA PENDIDIKAN BIAYA OPERASI SEKOLAH MENENGAH ATAS

Landasan Hukum

Pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada Bab VIII Wajib Belajar Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP. Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

Secara khusus disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam APBN dan APBD.

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan berbasis masyarakat adalah dengan berperan serta dalam pengembangan, pelaksanaan kurikulum, dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 13 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik diatur dengan PP

Pada Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terdapat kerancuan antara Bab I Pasal 1 Ayat (10) dan Bab IX Pasal 62 Ayat (1) s/d (5) tentang ruang lingkup standar pembiayaan. Ketentuan Umum tentang Standar Pembiayaan pada Pasal 1 tampak lebih sempit dari Pasal 62 yaitu standar pembiayaan pada Pasal 1 adalah mencakup standar yang mengatur komponen dan besarnya “biaya operasi” satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Pada Pasal 62 mencakup “biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal”. Pada Bab IX: Standar Pembiayaan, Pasal 62 disebutkan bahwa:
(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.
(2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.
(3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
(4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:
a. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.
b. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
c. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
(5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP

Sebelum PP tentang standar pembiayaan pendidikan ini dikeluarkan, telah ada SK Mendiknas tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan (SPM) yaitu Kepmendiknas No.053/U/2001 yang menyatakan bahwa SPM bidang pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan atau acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Penyusunan SPM bidang Pendidikan Dasar dan Menengah mengacu kepada PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan Pemerintah Pusat untuk membuat kebijakan tentang perencanaan nasional dan standarisasi nasional.

Dalam rangka penyusunan standarisasi nasional itulah, Mendiknas telah menerbitkan Keputusan No.053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang SPM yang diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan sekaligus ukuran keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah provinsi, kabupaten/kota bahkan sampai di tingkat sekolah.

Kepmendiknas No. 129/U/2004 merupakan hasil revisi dari kepmen sebelumnya sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam sistem dan manajemen pendidikan nasional. Pada kepmen ini pendidikan nonformal, kepemudaan, olahraga, dan Pendidikan Usia Dini lebih ditonjolkan. Pendidikan nonformal seperti pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan SD, SMP, SMA, pendidikan ketrampilan dan bermata pencaharian, kelompok bermain, pendidikan kepemudaan dan olahraga secara ekplisit telah ditentukan standar pelayanan untuk masing-masing SPM.

Karena standar pembiayaan juga mencakup kebutuhan atas buku teks pelajaran, maka perlu diperhatikan Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran yaitu Pasal 7: satuan pendidikan menetapkan masa pakai buku teks pelajaran paling sedikit 5 tahun dan buku teks pelajaran tidak dipakai lagi oleh satuan pendidikan apabila ada perubahan standar nasional pendidikan dan buku teks pelajaran dinyatakan tidak layak lagi oleh Menteri. Pada Pasal 8 ditegaskan bahwa: guru dapat menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki buku teks pelajaran; anjuran sebagaimana dimaksud bersifat tidak memaksa atau tidak mewajibkan; untuk memiliki buku teks pelajaran, peserta didik atau orangtua/walinya membelinya di pasar; untuk membantu peserta didik yang tidak mampu memiliki akses ke buku teks pelajaran, satuan pendidikan wajib menyediakan paling sedikit 10 (sepuluh) eksemplar buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran pada setiap kelas, untuk dijadikan koleksi perpustakaannya.


Konsep Pembiayaan Pendidikan
2.1 Sistem Pembiayaan Pendidikan

Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah. Sementara itu terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui sesuai tidaknya sistem dengan kondisi negara. Untuk mengetahui apakah sistem tersebut memuaskan, dapat dilakukan dengan cara: i) menghitung berbagai proporsi dari kelompok usia, jenis kelamin, tingkat buta huruf; ii) distribusi alokasi sumber daya pendidikan secara efisien dan adil sebagai kewajiban pemerintah pusat mensubsidi sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor lainnya.

Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa yang akan membayar biaya pendidikan. Demikian pula sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan pendidikan. Tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan termasuk untuk pendidikan kejuruan dan bantuan terhadap murid. Hal itu perlu dilihat dari faktor kebutuhan dan ketersediaan pendidikan, tanggungjawab orang tua dalam menyekolahkan vs social benefit secara luas, pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan.

Menurut Levin (1987) pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta administrasi sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah, yakni school revenues, school expenditures, capital dan current cost. Dalam pembiayaan sekolah tidak ada pendekatan tunggal dan yang paling baik untuk pembiayaan semua sekolah karena kondisi tiap sekolah berbeda.

Setiap kebijakan dalam pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Dengan mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda di sektor pendidikan, kita bisa melihat konsekuensinya terhadap pembiayaan pendidikan, yakni:
• Keputusan tentang siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan
• Keputusan tentang bagaimana mereka akan dididik
• Keputusan tentang siapa yang akan membayar biaya pendidikan
• Keputusan tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung pembiayaan sekolah

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada dua hal pokok yang harus dapat dijawab, yakni: i) bagaimana sumber daya akan diperoleh, ii) bagaimana sumber daya akan dialokasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan/tipe sekolah/kondisi daerah yang berbeda. Terdapat dua kriteria untuk menganalisis setiap hal tersebut, yakni, i) efisiensi yang terkait dengan keberadaan sumber daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan ii) keadilan yang terkait dengan benefits dan costs yang seimbang.

Menurut J. Wiseman (1987) terdapat tiga aspek yang perlu dikaji dalam melihat apakah pemerintahan perlu terlibat dalam masalah pembiayaan pendidikan:
• Kebutuhan dan ketersediaan pendidikan terkait dengan sektor pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu alat perdagangan dan kebutuhan akan investasi dalam sumberdaya manusia/human capital
• Pembiayaan pendidikan terkait dengan hak orang tua dan murid untuk memilih menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang akan berdampak pada social benefit secara keseluruhan
• Pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan

Dalam hal pendidikan kejuruan dan industri, M. Woodhall (1987) menjelaskan bahwa di masa lalu pembiayaan pendidikan jenis ini ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan memberi subsidi kepada para pekerjanya sendiri. Sekarang peran pemerintah semakin besar dalam pembiayaan ini. Hal itu disebabkan adanya kepentingan ekonomi. Artinya kebijakan ketenagakerjaan, diharapkan dapat meningkatkan kepentingan untuk membagi biaya dan manfaat dari pendidikan ini dengan adil.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan kejuruan ini adalah:
• Peran pemerintah dalam membiayai jenis pendidikan ini
• Perbedaan antara jenis training yang umum dan spesifik
• Pilihan antara training yang on dan off the job
• Keseimbangan antara pembiayaan dari pemerintah dan sektor swasta di pendidikan ini
• Pentingnya praktek kerja sebagai kelanjutan dari jenis pendidikan ini
• Pembayaran kompensasi selama mengikuti pendidikan ini
• Sumber daya yang dialokasikan untuk jenis pendidikan ini



2.2 Pendekatan Kecukupan (Adequacy Approach)

Pengukuran biaya pendidikan seringkali menitikberatkan kepada ketersediaan dana yang ada namun secara bersamaan seringkali mengabaikan adanya standar minimal untuk melakukan pelayanan pendidikan. Konsep pendekatan kecukupan menjadi penting karena memasukkan berbagai standar kualitas dalam perhitungan pembiayaan pendidikan. Sehingga berdasarkan berbagai tingkat kualitas pelayanan pendidikan tersebut dapat ditunjukkan adanya variasi biaya pendidikan yang cukup ideal untuk mencapai standar kualitas tersebut. Analisis kecukupan biaya pendidikan ini telah digunakan di beberapa negara bagian Amerika Serikat untuk mengalokasikan dana pendidikan. Berbagai studi di Indonesia telah pula mencoba memperhitungkan biaya pendidikan berdasarkan standar kecukupan.

Perhitungan biaya pendidikan berdasarkan pendekatan kecukupan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:
• Besar kecilnya sebuah institusi pendidikan
• Jumlah siswa
• Tingkat gaji guru (karena bidang pendidikan dianggap sebagai highly labour intensive)
• Rasio siswa dibandingkan jumlah guru
• Kualifikasi guru
• Tingkat pertumbuhan populasi penduduk (khususnya di negara berkembang)
• Perubahan dari pendapatan (revenue theory of cost)

Akreditasi Sekolah Tiap Tahun Menurun

Akreditasi Sekolah Tiap Tahun Menurun

Jumlah sekolah/madrasah yang diakreditasi setiap tahun cenderung menurun seiring dengan berkurangnya dana untuk akreditasi. Akibatnya, pada 2010 kemungkinan besar sekolah yang telah habis masa berlaku sertifikasi akreditasinya, tidak akan diakreditasi ulang karena masih banyak sekolah/madrasah yang sama sekali belum terakreditasi.

”Kami hanya bisa mengajukan kuota yang akan diakreditasi. Tetapi eksekusinya, tergantung dari yang disetujui baik melalui APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) maupun APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah),” ujar Ketua Badan Akreditasi Provinsi Jawa Barat (BAP Jabar) untuk sekolah dan madrasah Djam’an Satori.

Berdasarkan data BAP Jabar, pada 2009 ini APBN mengucurkan Rp 6.729.250.000,00 sehingga bisa mengakreditasi 5.050 sekolah/madrasah (255 sekolah dari APBD Jabar). Sementara pada 2008, dengan anggaran yang lebih besar BAP Jabar mampu mengakreditasi 7.494 sekolah/madrasah (2.444 lebih banyak dari 2009).

Untuk 2010, dana yang dikucurkan melalui APBN kemungkinan besar hanya sekitar Rp 3,5 miliar karena Departemen Pendidikan Nasional fokus kepada akreditasi perguruan tinggi. Oleh karena itu, perkiraan jumlah sekolah yang akan diakreditasi adalah separuh dari jumlah yang diakreditasi pada 2009, yaitu 2.525 sekolah/madrasah.

Penurunan dana tersebut, katanya, juga menyebabkan tahun depan BAP Jabar akan memprioritaskan sekolah/madrasah yang sama sekali belum terakreditasi. Sekolah/madrasah yang belum terakreditasi adalah 59 sekolah luar biasa (SLB), 2.925 taman kanak-kanak/raudlatul atfal (TK/RA), 4.900 sekolah dasar/madrasah ibtidaiah (SD/MI), 757 sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiah (SMP/MTs.), 7 sekolah menengah atas/madrasah aliah (SMA/MA), dan 18 sekolah menengah kejuruan (SMK).

Standar Penilaian Pendidikan

Standar Penilaian Pendidikan

1. STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN (PERMENDIKNAS NO 20 TH 2007) DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 11 JUNI 2007
2. PENILAIAN
* APA STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN ?
* APA PENILAIAN PENDIDIKAN ?
* BAGAIMANA CARANYA?
* APA MANFAAT HASILNYA ?
* APA KETUNTASAN BELAJAR?
* BAGAIMANA PELAPORANNYA?
3.
* STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN:
* Standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
* Penilaian Pendidikan :
* Proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik
4.
* ULANGAN :
* Proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
5. PRINSIP PENILAIAN
* SAHIH
* OBJEKTIF
* ADIL
* TERPADU
* TERBUKA
* MENYELURUH DAN BERKESINAMBUNGAN
* SISTEMATIS
* BERACUAN KRETERIA
* AKUNTABEL
6. MEKANISME & PROSEDUR PENILAIAN
* Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.
* Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu kompetensi dasar atau lebih oleh pendidik
7.
* Ulangan tengah semester : mengukur kompetensi setelah 8 – 9 minggu. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan KD pada periode tersebut oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
* Ulangan akhir semester : mengukur pencapaian kompetensi di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan KD pada periode tersebut oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
8.
* Ulangan kenaikan kelas : mengukur pencapaian kompetensi di akhir semester genap. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan KD pada periode tersebut oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.
* Ujian sekolah mengukur pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan
9. Ujian Nasional
* Kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan
10. BELAJAR TUNTAS
* Belajar Tuntas ( mastery learning ): peserta didik tidak diperkenankan mengerjakan pekerjaan berikutnya, sebelum mampu menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar, dan hasil yang baik.
* “ Jika peserta didik dikelompokkan berdasarkan tingkat kemampuannya untuk beberapa mata pelajaran dan diajarkan sesuai dengan karakteristik mereka, maka sebagian besar dari mereka akan mencapai ketuntasan”.
* ( John B. Carrol, A Model of School Learning)
11. lanjutan
* Guru harus mempertimbangkan antara waktu yang diperlukan berdasarkan karakteristik peserta didik dan waktu yang tersedia di bawah kontrol guru (John B. Carrol)
* “ Peserta didik yang belajar lambat perlu waktu lebih lama untuk materi yang sama, mereka dapat berhasil jika kompetensi awal mereka terdiagnosis secara benar dan mereka diajar dengan metode dan materi yang berurutan, mulai dari tingkat kompetensi awal mereka”
* (JH. Block, B. Bloom)
12. PENILAIAN OTENTIK
* Memandang penilaian dan pembelajaran secara terpadu
* Mencerminkan masalah dunia nyata
* bukan dunia sekolah
* Menggunakan berbagai cara dan kriteria
* Holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap,)
13. BERKESINAMBUNGAN
* Memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil terus menerus dalam bentuk Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester, Ulangan Akhir Semester, dan Ulangan Kenaikan Kelas.
14. ACUAN KRITERIA/PATOKAN
* PRESTASI/KEMAMPUAN PESERTA
* DIDIK TIDAK DIBANDINGKAN
* DENGAN PRESTASI KELOMPOK,
* TETAPI DENGAN KEMAMPUAN
* YANG DIMILIKI SEBELUMNYA DAN PATOKAN YANG DITETAPKAN
15. BERBAGAI CARA & ALAT PENILAIAN
* Mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi
* Menggunakan penilaian yang bervariasi: Tertulis, Lisan, Produk, Portofolio, Unjuk Kerja, Proyek, Pengamatan, dan Penilaian Diri
16. TEKNIK /CARA PENILAIAN
* Unjuk Kerja (Performance )
* Penugasan (Proyek / Project)
* Hasil kerja (Produk / Product)
* Tertulis (Paper & Pen)
* Portofolio (Portfolio)
* Sikap
* Diri
17.
* UNJUK KERJA (PERFORMANCE) : PENGAMATAN TERHADAP AKTIVITAS SISWA SEBAGAIMANA TERJADI (UNJUK KERJA, TINGKAH LAKU, INTERAKSI)
* PROYEK : PENILAIAN TERHADAP SUATU TUGAS PENYELIDIKAN YANG HARUS SELESAI DALAM WAKTU TERTENTU
* HASIL KERJA (PRODUK) : PENILAIAN TERHADAP KEMAMPUAN MEMBUAT PRODUK TEKNOLOGI DAN SENI
* TERTULIS: MEMILIH & MENSUPLAI JAWABAN
* PORTOFOLIO : PENILAIAN YANG SISTEMATIS MELALUI KOLEKSI KARYA (HASIL KERJA) SISWA
* SIKAP : PENILAIAN TERHADAP PERILAKU DAN KEYAKINAN SISWA TERHADAP OBYEK SIKAP
* DIRI : MENILAI DIRI SENDIRI BERKAITAN DENGAN STATUS, PROSES, TINGKAT PENCAPAIAN KOMPETENSI YANG DIPELAJARINYA
18. PEMANFAATAN HASIL
* REMEDIAL
* PENGAYAAN
* PERBAIKAN PROGRAM & KEGIATAN
19. KAPAN ?
* REMEDIAL
* BILA NILAI INDIKATOR < KRITERIA KETUNTASAN BELAJAR
* PENGAYAAN
* TUNTAS LEBIH CEPAT
* PERBAIKAN PROGRAM & KEGIATAN
* BILA TIDAK EFEKTIF
20. KETUNTASAN BELAJAR
* PER INDIKATOR
* KRITERIA: 0% – 100%
* IDEAL: 75%
* SEKOLAH MENETAPKAN SENDIRI DGN PERTIMBANGAN:
* KEMAMPUAN AKADEMIS SISWA,
* KOMPLEKSITAS INDIKATOR ,
* DAYA DUKUNG: GURU, SARANA
* TUNTAS: SKOR ≥ KRITERIA KETUNTASAN
* TUNTAS INDIKATOR -> KD -> SK-> MATPEL
21. CONTOH PENGHITUNGAN KETUNTASAN BELAJAR TUNTAS 75 55% 3 TAK TUNTAS 59 60% 2 TUNTAS 60 60% 1 KETUNTASAN NILAI PESERTA DIDIK KRITERIA KETUNTASAN I NDIKATOR KOMPETENSI DASA R
22. CONTOH PENGHITUNGAN NILAI KD TUNTAS 68 65% 2 TUNTAS 70 70% 1 2 TUNTAS 90 60% 3 TUNTAS 80 70% 2 NILAI KD 1: 61+80+90 3 =77 ATAU 7,7 NILAI KD 2: MODE: 70 NILAI KD:70 TUNTAS 73 60% 3 TUNTAS 61 60% 1 1 KETUNTASAN NILAI SISWA KRITERIA KETUNTASAN BELAJAR I NDIKATOR KOMPETENSI DASA R (KD)
23. DALAM 1 KD
* JML INDIKATOR YG TUNTAS > 50%:
* LANJUT KE KD BERIKUTNYA
* REMEDIAL: BAGI INDIKATOR BELUM TUNTAS
* JML INDIKATOR BELUM TUNTAS ≥ 50%:
* MENGULANG KD YANG SAMA
24. PROGRAM REMEDIAL
* TATAP MUKA DENGAN GURU
* BELAJAR SENDIRI -> dinilai :
* MENJAWAB PERTANYAAN, MEMBUAT RANGKUMAN, MENGERJAKAN TUGAS, MENGUMPULKAN DATA .
* PADA ATAU DI LUAR JAM EFEKTIF
* INDIKATOR BELUM TUNTAS
25. PROGRAM PENGAYAAN :
* SISWA BERPRESTASI BAIK
* MEMPERKAYA KOMPETENSI
* KEGIATAN : MEMBERI MATERI TAMBAHAN,
* LATIHAN TAMBAHAN
* TUGAS INDIVIDUAL
* HASIL PENILAIAN MENAMBAH NILAI MATPEL BERSANGKUTAN
* SETIAP SAAT, PADA ATAU DI LUAR JAM EFEKTIF .
26. PERBAIKAN PROGRAM & KEGIATAN Program Strategi Bahan Tidak efektif ? dievaluasi Direvisi Diganti
27. PELAPORAN
* RAPOR ADALAH LAPORAN KEMAJUAN BELAJAR
* BERISI INFORMASI TENTANG PENCAPAIAN KOMPETENSI
* SEKOLAH BOLEH MENETAPKAN SENDIRI MODEL RAPOR YANG DIKEHENDAKI, DENGAN SYARAT: KOMUNIKATIF DAN MENGGAMBARKAN PENCAPAIAN KOMPETENSI
* MODEL YANG ADA PADA ALTERNATIF MERUPAKAN CONTOH YANG DAPAT DIMODIFIKASI /DIADOPSI OLEH SEKOLAH

Guru sulit terapkan standar pembiayaan

Guru sulit terapkan standar pembiayaan

JAKARTA - Draft naskah akademik Standar Pembiayaan yang hanya mencakup biaya operasional SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA negeri dan swasta yang tengah dibahas dalam uji publik oleh stake holder dinilai sejumlah peserta uji publik terlalu detail atau rinci. Para peserta pun khawatir dengan draft seperti itu akan sulit diterapkan oleh sekolah. Karena itu, sangat disayangkan.

Demikian benang merah yang dapat ditarik dalam diskusi mengenai paparan tim ahli standar biaya pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menjelang diskusi kelompok sesaat setelah dibuka Ketua BSNP Prof Dr Yunan Yusuf dalam pembukaan Uji Publik Standar Pembiayaan yang diikuti stake holder pendidikan dari seluruh Indonesia, Jumat (15/12).

"Kalau saya pelajari draft naskah akademik standar pembiayaan yang memuat secara dan begitu rinci pembiayaan sejumlah komponen operasional pendidikan, saya khawatir tidak dapat dilaksanakan di lapangan. Kalau pun bisa, mungkin akan banyak pelanggaran yang dilakukan kepala sekolah atau guru di sekolah," jelas Dr. Fathoni Rozly, peserta dari Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Pusat.

Menurut dia, seharusnya tim ahli perumus standar pembiayaan BSNP ini tidak menyusun naskah akademik seperti ini. Sebab, akan sulit dilaksanakan oleh kepala sekolah atau guru. Karena itu, perlu direvisi karena dikhawatirkan jika draft naskah akademik ini selesai dibahas dan direkomendasikan kepada pemerintah sebagai peraturan pemerintah atau peraturan menteri akan sangat merepotkan sekolah.

Fathoni juga menyatakan kesalutannya kepada tim ahli yang telah membuat draft naskah akademik ini. Namun dia balik bertanya apakah perbandingan biaya yan diperoleh dari sejumla daerah di Indonesia sudah sangat valid atau sesuai dengan kondisi saat ini. Apalagi kalau dikaitkan dengan komitmen pemerintah daerah terhadap anggaran pendidikan.

Menanggapi masalah ini ketua tim ahli standar biaya pendidikan Dr. Ninasapti Triaswati yang juga dosen pada fakultas ekonomi Universitas Indonesia itu mengatakan, draft naskah akademik ini memang sudah disusun sedemikian rupa dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari informasi dan data yang diperoleh di lapangan.

Ketua BSNP Yunan Yusuf mengemukakan, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan pendanaan pendidika menjadi tanggunjawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk itu, mutlak dikembangkan standar pembiayaan pendidikan. "Pembiayaan pendidikan tersebut mencakup biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal," paparnya.

Biaya investasi pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, biaya pengembangan sumber daya manusia, modal kerja tetap. Selain itu, biaya personal yang harus dikeluarkan tiap peserta didik

Standar Sarana dan Prasarana

Standar Sarana dan Prasarana

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Sarana dan Prasarana.

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 40 Tahun 2008 tentang Standar Sarana Prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).
  • Standar Pendidikan Nasional Harus Merata

    menurut pemerintah menyatakan tentang ukuran untuk menentukan kualitas (standar) pendidikan nasional harus merata. Hal tersebut dikemukakan penolakan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Menurut pendapat pemerintah, UN diselenggarakan dengan alasan sebagai upaya pemerintah untuk menyamaratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia, dengan dukungan fasilitas dan kesejahteraan guru.

    Upaya yang dilakukan pemerintahan periode 2004-2009 tersebut adalah dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan kesejahteraan guru.

    Namun, upaya tersebut tidak berjalan mulus karena terdapat desakan dari berbagai pihak mengenai standar UN yang dinilai memberatkan, terutama karena fasilitas pendukung tidak merata di semua daerah.

    "Dengan UN kita mengharapkan anak-anak belajar dengan serius dan kualitas pendidikan yang diperoleh juga merata," katanya.

    Ia mengatakan, pendidikan anak di Indonesia tidak boleh dibeda-bedakan kualitasnya termasuk kesejahteraan guru, dan fasilitasnya.

    Karena itu, pemerintah harus segera memenuhi segala hal yang mendukung pemerataan kualitas pendidikan tersebut.

    Ditolak

    MA menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional (Unas).

    Dalam laman MA, di Jakarta, disebutkan, pemohon dalam perkara tersebut yakni pihak negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Negara RI cq Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla --saat permohonan itu diajukan--, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo --saat permohonan itu diajukan--.

    Kemudian, Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).

    "Menolak permohonan kasasi para pemohon," demikian laman itu menyebutkan.

    Selain itu, MA juga membebankan para Pemohon Kasasi/para Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp500 ribu.

    Putusan itu sendiri diucapkan dalam Rapat Permusyawaratan hakim agung pada 14 September 2009 dengan ketua majelis hakim, Abbas Said, dan anggota Mansyur Kartayasa dan Imam Harjadi.

    Dengan putusan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa UN yang selama ini dilakukan adalah cacat hukum, dan selanjutnya UN dilarang untuk diselenggarakan.

    Adanya putusan tersebut, sekaligus menguatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 6 Desember 2007, namun pemerintah tetap menyelenggaran UN untuk 2008 dan 2009.

    Pemerintah dianggap telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru baik sarana maupun prasarana, hingga pemerintah diminta untuk memperhatikan terjadinya gangguan psikologis dan mental para siswa sebagai dampak dari penyelenggaran UN.